Penelitian ini berfokus pada simbolisme Gate 13 di Stadion Kanjuruhan, yang menjadi sorotan setelah insiden tragis pada tahun 2022. Kejadian tersebut, yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, tidak hanya mengguncang dunia olahraga Indonesia tetapi juga memicu reaksi sosial yang luas dari masyarakat. Dalam konteks ini, teori semiotika muncul sebagai alat yang sangat relevan untuk memahami bagaimana masyarakat menggunakan simbol-simbol tertentu sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan yang terjadi di stadion.
Teori semiotika, yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce, memberikan kerangka kerja untuk menganalisis tanda dan maknanya dalam konteks sosial. Saussure menjelaskan bahwa tanda terdiri dari dua komponen utama: penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk fisik dari tanda, sementara petanda adalah makna atau konsep yang terkait dengan penanda tersebut. Dalam konteks Gate 13, penanda dapat berupa spanduk, atribut tim, atau perilaku suporter yang mencerminkan identitas dan solidaritas mereka. Seperti yang dinyatakan oleh Saussure, “Tanda tidak memiliki makna intrinsik; makna ditentukan oleh hubungan sosial dan konvensi” (Saussure, 1916).
Sementara itu, Peirce menambahkan dimensi lain dengan membagi tanda menjadi tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menyerupai objeknya, indeks memiliki hubungan langsung dengan objeknya, dan simbol adalah tanda yang maknanya ditentukan oleh konvensi sosial. Dalam kasus Gate 13, simbolisme dapat dilihat dalam cara suporter menggunakan elemen-elemen tertentu untuk menyampaikan pesan tentang kekerasan di stadion. Peirce menekankan pentingnya konteks sosial dalam memahami makna tanda dengan menyatakan bahwa “tanda bukan hanya sekadar representasi; mereka juga berfungsi sebagai jembatan antara pengalaman individu dan realitas sosial” (Peirce, 1931).
Kejadian di Gate 13 menciptakan dampak emosional yang mendalam bagi para suporter dan memicu perdebatan mengenai kekerasan dalam sepak bola serta tanggung jawab semua pihak terkait. Masyarakat merespons insiden ini dengan demonstrasi dan penggunaan simbol-simbol tertentu untuk mengekspresikan penolakan terhadap kekerasan. Misalnya, penggunaan warna-warna tertentu atau gambar-gambar yang menggambarkan kesedihan dan kemarahan menjadi cara bagi suporter untuk menyampaikan pesan bahwa mereka menolak kekerasan dan mendambakan perubahan dalam budaya sepak bola.
Melalui analisis semiotika, kita dapat memahami bagaimana simbol-simbol ini berfungsi tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap norma-norma kekerasan yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam bagaimana simbolisme Gate 13 dapat diinterpretasikan melalui lensa teori semiotika untuk memahami dinamika sosial yang lebih luas terkait dengan perlawanan masyarakat terhadap kekerasan di stadion.
Gate 13 Kayutangan
Gambar 1 Pintu Ruko Diubah Menjadi Tempat Melampiaskan Ekspresi Perlawanan Terhadap Ketidakadilan Kasus Tragedi Kanjuruhan
Foto ini diambil di kawasan Kayutangan, Malang, menampilkan mural dan poster-poster yang menggambarkan upaya masyarakat dalam mengenang tragedi Kanjuruhan serta menyerukan keadilan. Dalam bingkai Gate 13 yang tertulis di atas, elemen-elemen visual pada tembok ini menjadi simbol yang sarat makna, mencerminkan bentuk perlawanan masyarakat terhadap kekerasan di stadion sepak bola.
Menggunakan teori semiotika, kita dapat membaca elemen-elemen ini sebagai tanda-tanda yang membawa pesan mendalam. Tulisan “1.3.1.2 FOREVER” yang berulang kali muncul merujuk pada solidaritas dan perlawanan kolektif dari suporter sepak bola, khususnya Aremania. Angka ini sering kali digunakan sebagai simbol keberanian dan ingatan terhadap korban tragedi. Figur manusia yang digambarkan seperti menggantung dengan posisi berayun melambangkan perjuangan yang tak kenal lelah dan optimisme dalam menghadapi ketidakadilan.
Di tengah poster-poster tersebut terdapat poster nama 135 korban Tragedi Kanjuruhan dengan narasi panjang berjudul “Kanjuruhan Belum Usai.” Teks ini menjadi inti pesan yang mengajak orang-orang untuk tetap mengingat dan menuntut pertanggungjawaban atas kekerasan yang terjadi. Penuh dengan seruan moral, tulisan ini berfungsi sebagai alat untuk menjaga memori kolektif tetap hidup.
Pemilihan lokasi di Kayutangan, kawasan bersejarah di Malang, memberikan konteks tambahan yang memperkuat makna karya ini. Sebagai pusat aktivitas masyarakat, tembok ini menjadi ruang publik yang strategis untuk menyampaikan pesan. Dengan demikian, visual ini tidak hanya menjadi dekorasi urban, tetapi juga sebuah manifesto visual dari perjuangan sosial.
Keseluruhan komposisi ini menciptakan dialog antara masyarakat, tragedi, dan harapan. Dalam perspektif semiotika, Gate 13 dan elemen-elemen yang mengelilinginya adalah representasi simbolis dari keteguhan hati masyarakat Malang dalam menuntut keadilan dan melawan lupa.
Gate 13 Pameran di Gribig

Gambar 2 Pintu Masuk Ruang Perenungan Gate 13 di Pameran Koneksi Antar Kampung
Gambar 3 Ditembok Ruangan Pameran Ditempel Foto Korban dan Dibawahnya Terdapat Instalasi Jenazah Korban Tragedi Kanjuruhan
Pameran Koneksi Antar Kampung Vol. 4 yang diselenggarakan di Gribig, Malang. Teman-teman Aksi Kamisan Malang diberikan satu rumah yang secara khusus menampilkan instalasi seni bertema Tragedi Kanjuruhan. Di dinding ruangan, deretan foto para korban ditempel dengan latar pencahayaan merah yang kuat, menciptakan suasana emosional yang mendalam. Di bawahnya, terdapat instalasi kain menyerupai tubuh jenazah, menggambarkan duka yang tak terhingga dari tragedi tersebut.
Pendekatan visual ini tidak hanya berfungsi sebagai bentuk penghormatan kepada para korban, tetapi juga sebagai upaya untuk menjaga ingatan kolektif masyarakat tentang peristiwa ini. Cahaya merah yang mendominasi ruang memunculkan simbolisasi darah dan keberanian, serta menyuarakan perasaan kehilangan yang mendalam. Wajah-wajah para korban yang dipajang menghadirkan elemen humanisasi, memperlihatkan bahwa tragedi ini bukan sekadar angka, melainkan menyentuh kehidupan nyata dari mereka yang telah tiada.
Kehadiran instalasi jenazah di bawah deretan foto melengkapi narasi visual ini. Instalasi tersebut menciptakan ruang untuk merenungkan dampak nyata dari kekerasan di stadion sepak bola, seolah menghadirkan kembali keheningan dan kesedihan di tempat kejadian. Gabungan elemen-elemen ini memberikan pengalaman yang menggugah bagi para pengunjung, mendorong refleksi mendalam tentang keadilan dan kemanusiaan.
Gambar 4 Daftar Nama Korban Tragedi Kanjuruhan